Source: http://ecosocrights.blogspot.com/search/label/pemerintah
 

[On the Health Situation of the Poor and Family Doctors]
[And Other Matters]

10 May 2007
75 Ribu untuk Dua Lembar Poster

Albert Buntoro

SIANG itu di tengah sengat sinar matahari, kami kedatangan seorang laki-laki yang mengaku petugas dari Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). ”Selamat siang pak, saya dari K3, Depnakertrans yang ada di jalan Gatot Subroto,” kata lelaki yang usianya kira-kira sudah 50 tahunan itu.

Awalnya saya merasa curiga dengan kehadiran orang ini. Namun kemudian saya diyakinkan oleh selembar tanda pengenal yang tertempel di kantong pakaian seragamnya. Pada tanda pengenalnya tercantum nama ’Suwardi’, dan di bawahnya tertulis Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Saya persilahkan petugas tersebut duduk dan menanyakan maksud kedatangannya. Dia mengambil dua buah poster yang tergulung rapi dalam bungkusan koran. Sambil menyerahkan poster-poster tersebut dia berucap,”Pak, ini sebagai bentuk partisipasi kami.” Saya pun meraih poster-poster tersebut dan melihat isinya. Poster pertama berisi tentang ajakan untuk menjamin kesehatan dan keselamatan para pekerja. Sementara poster kedua berisi tentang undang-undang keselamatan kerja.

Selagi saya mencermati poster, sang petugas menyodorkan selembar kuitansi yang sudah terisi kepada saya. Betapa kagetnya saya, ”Lho pak, bukankah seharusnya kami mendapatkan poster ini secara gratis sebagai bentuk sosialisasi dari Depnakertrans.” Tampak petugas tersebut kaget mendengarkan pernyataan saya. Sejenak dia terdiam, dan berkata: ”Oh, ini ada biayanya pak.” Saya semakin tercengang ketika tahu biaya untuk dua poster tersebut sebesar 75 ribu rupiah. Tanpa pikir panjang saya mengurungkan untuk mendapatkan poster-poster tersebut.

Pengalaman hari ini (8/5) menggelitik banyak pertanyaan dalam diri saya. Apakah memang seperti itu prosedur 'sosialisasi' yang dilakukan Depnakertrans? Ataukah memang ada orang-orang dalam Depnakertrans sendiri yang memanfaatkannya karena ketidakcukupan penghasilan di tempat kerjanya?**

Read More...

Summary only...

Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 6:55 PM 3 komentar Tautkan dengan tulisan ini 

Label: pemerintah
 
 

03 May 2007
NTT: (Memang) [N]asib [T]ak [T]entu

Yan Kolibau

KETIKA mendengar singkatan yang dipelèsètkan ini dalam sebuah diskusi di bulan Desember 2006 di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), telinga saya panas dan marah. Pasalnya sejak belajar SMA di Solo, Jawa Tengah, saya membayangkan kampung halaman saya sangat indah, para elitenya arif bijaksana. Dan setelah selesai kuliah saya akan kembali mengambil bagian dalam proses kesejahteraan yang akan segera nyata.

Tapi, apa yang terjadi? Satu tahun, dua tahun.. sepuluh tahun.. bahkan 20 tahun berlalu. Rambutku semakin banyak yang uban. Elit silih berganti kecuali Walikota Kupang (SK Lerick) dan Gubernur NTT (Piet A Tallo) yang selalu menduduki puncak kekuasaan. Tak satu pun harapan menjadi kenyataan. Di tengah pengharapan yang tak berkesudahan itu, sebagai orang beriman, saya dan beberapa rekan berusaha menghibur diri dengan mengatakan "tak mengapa,
penantian orang NTT belum sebanding orang Jawa menanti Satrio Piningit, datangnya Ratu Adil". Lebih tidak berarti lagi dibandingkan dengan penantian orang Yahudi akan datangnya Yesus Kristus, Juru Selamat Dunia, atau orang Muslim akan datangnya Imam Mahdi.

Di tengah penantian itu terjadilah perang saudara di Timor Portugis tahun 1975. Orang NTT di perbatasan tunggang langgang pada tanggal 11 April tahun 1976 —pada Minggu Palma— ketika pasukan Fretelin memukul mundur Resimen Pelopor dari Republik Indonesia yang menjaga perbatasan.

Porak porandalah segalanya. Hilang harta benda, hilang pula nyawa. Setelah itu banyak proyek mengalir membawa kegembiraan untuk beberapa orang dan meninggalkan duka untuk rakyat banyak sebab mereka kehilangan segalanya.

Waktu berlalu. Amukan pikiran tak juga tersalurkan. Tak banyak orang mempercakapkan apa yang terjadi. Dalam kebisuan itu beribu pasang mata menyaksikan betapa uang mengalir dari Jakarta ke daerah, mobil-mobil mewah plat merah dan plat hitam berseliweran di jalan raya hingga ke jalanan kampung. Dan tidak sedikit rumah mewah diririkan. Entah milik siapa. Konon banyak pula orang naik pangkat dari Letnan Kolonel naik bahkan menjadi Letnan Jenderal, dari pengangguran menjadi usahawan, dan sebagainya.

Akhirnya terjadi lagi duka ‘jilid kedua’, ketika terjadi jajak pendapat di provinsi Timor Timur. Semua yang terjadi dalam agenda jilid satu tahun 1975 terulang kembali, bahkan mengalami peningkatan. Lebih banyak uang mengalir, lebih banyak warga masyarakat mengalami duka, dan juga lebih banyak orang memanfaatkan kesempatan. Data yang ada memperlihatkan intensitas korupsi selama tahun 1990-an sampai 2006 meningkat tajam, tapi tak banyak orang tersentuh, baik dari kalangan pemerintah maupun swasta, termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

Adakah kemajuan dan harapan untuk NTT? Salahkah singkatan-ejekan “Nasib Tak Tentu” itu? Jawabnya: "Barangkali mungkin (memang) Nasib-nya Tak Tentu". Para bupati dan mantan-mantan bupati bahkan sampai pejabat-pejabat di tingkat propinsi di NTT sangat banyak yang “bermasalah”. Rasanya lebih banyak yang terindikasi terlibat korupsi, atau setidaknya patut diduga. Sementara ada yang sudah menjadi tersangka akan tetapi belum ada kejelasan.

Pada akhirnya siapa yang akan memberikan singkatan atau akronim yang indah untuk NTT sangat tergantung dari kecerdasan memimpin dan kebeningan hati nurani para elitnya.**

Read More...

Summary only...

Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 1:07 PM 1 komentar Tautkan dengan tulisan ini 

Label: Kemiskinan, Leadership, Nusa Tenggara Timur, pemerintah, politik

Warning! Hutang Baru Indonesia: Berita via SMS

    $US600 juta hutang baru Indonesia
    Potensi kerugian negara di BP Migas: US$2,3milyar
 
 

SMS 1
Indonesia [meng]ajukan [h]utang baru ke Bank Dunia [sebanyak] 600 juta USD, dan mencari tambahan dari ADB dan negara-negara kreditor untuk memenuhi defisit APBN 2007 sebesar 1,75 milyar USD. Apa arti pembubaran CGI? Apa kerja tim ekonomi (menkeu) yang hanya bisa tambah utang untuk [men]utup defisit? Rejim [h]utang sama dengan rejim antek penjajah.

SMS 2
Daripada tambah utang yang akhirnya kita didikte, mestinya pemerintah segera menindaklanjuti temuan audit BPK atas potensi kerugian Negara di BP Migas sebesar US$2,3 milyar. Baca tulisan saya: (1) di koran Media Indonesia 3 April 2007, (2) tulisan saya di buku berjudul “Indonesia's Economic Outlook 2007”, terbitan Bisnis Indonesia, edt Kurtubi. Kalau kami dari students, ya bergerak advokasi jalanan. Harusnya reshuffle lebih [ke] tim ekonomi. Semoga bisa disinergikan dengan gerakan mbak .. [red: The Institute for Ecosoc Rights, maksudnya]

dari Nafis/Ismad

Read More...

Summary only...

Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:58 AM 0 komentar Tautkan dengan tulisan ini 

Label: Indonesia, Kebijakan, pemerintah
 
 

30 April 2007
Questioning the concept of family doctors in Indonesia

By Albert Buntoro

REGARDLESS the story problems and the many criticisms, this next quotation is the least short message from an American movie entitled Patch Adam (1999). This comes from a true story telling the struggle of an idealistic doctor who was well interpreted by artist of fame Robin Williams. He was very critical against the hospital system that makes difficult the patients for high cost for getting better. He broke the rigid attitude in treating patients.

Young Patch had a dream to build a hospital as a pleasant place for patients in which they could help and cure each other among them. His dream was realized when along his friends he built Gesundheit Institute, an open venue for sick people in the periphery of West Virginia, US. Apart from delivering free medical treatment, the doctors also position themselves as family members and they did not maintain distance with the patients.

The existence of the institute then became the axes of major changes in medical affairs in the US. A doctor did no longer wear her or his special suit and remained in the world of their patients. The doctors did not sit behind the desks waiting for the patients coming but they were actively contacting the patients and their families for health matters. These active doctors were later known as ‘family doctors’. This health system materialized as Dr. Patch was very convinced that individual health condition could not be separated from the health condition of their families, their communities and their worlds.

This kind of social health system has been long applied in some advanced countries like the US, Britain, Australia, etc. Assuming it would work elsewhere, the Indonesian health ministry maintains its plan to apply this system as an alternative to reach the so-called Healthy Indonesia 2010 program. The long-term target is to provide one doctor for 2.500 people or 500 households.

Ideally each individual has a family doctor who would later become the partner in maintaining health of the family members. The idea that the department tries to implant among the people is healthy home paradigm concept. Meaning to say the doctor has not only the task to wait for the patients coming but she/he should take preventive actions before any disease attacks, such as consistently monitoring the patient health development during treatment. In other words, the doctor becomes like the police but also like sharing partner of her/his patients. The system is expected to increase knowledge about and behavior for health life and in its turn the society at large would do the same.

Samsuridjal Djauzi, an internist doctor and a lecturer at the school of medicine of the University of Indonesia in Jakarta, tells his experience while witnessing the free service of the family doctors at a densely populated urban area in Cuba, C. America. According to him, the success of family doctors in the country was supported by the existence of good clean water and electricity services, the exhaustive health facilities and environmental cleanliness. Even the services of health centers in Cuba has been made a reference for clinic services because there have been specialist doctors, emergency services and medical rehabilitations. As a result, the family doctors have been able to increase people’s health degree in Cuba. They have very low infant death of 5.8 in 1,000 while Indonesia has 30/1,000.Maternal death reaches 31/100,000, while in Indonesia 300/100,000. Infant death in Cuba is in fact lower than those in advanced countries like the US.

As a concept, the family doctor system could be labeled “ideal” but in reality of being applied in Indonesia it conditions other necessary supports in advance such as better public services in transportation, water and electricity supply and medical equipments. To reach such conditions, inter-departmental teamwork is of absolute necessity including the education services to condition the people for increased health awareness in their daily life.
 
 

Given the fast increasing commercialization of medical services, the question now is whether such family doctors in Indonesia, if any, could reach lower middle class people like in Cuba? Or they would only serve for people of higher social grouping in urban areas. We will see the results, then.**

Comments from indah in Philadelphia, US:
The idea of family doctors is interesting but to my opinion it is too difficult to apply in Indonesia, given the doctors are too few as compared to the population. Furthermore, in our country, the doctors prefer to stay in big cities [rather] than villages or remote areas.

In the US, this concept has not been able to apply perfectly. There are too many people who do not have health insurances and only go to the doctors or hospital when they become too weak or ill. Of course to take service from the government clinic is free of charge but the patient has to wait for hours (from 2 to 6 hours) to get the service. And the doctors who are diligent in contacting the patients at their home as described in this article is a very idealistic picture (that applied by doctors at hospital or private clinics but paid by insurance). The doctors (or medical officials) at government clinics normally only remind by letters or phones, if there is an appointment that will take place or if there is an emergency condition.

My suggestion for Indonesia:

- Increase the number of the free-of-charge health clinics up to the point of balance with the population,

- Public health services have to consider the geographical scale [so] that the people from smaller towns need not [...] go to bigger cities to get services,

- Increase the number of paramedics (whose education period [is] relatively shorter and less expensive than [that of] doctors).
 

Greeting,

Indah Nuritasari-Philadelphia
 

                                       --------------------------

Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 7:19 PM 0 komentar Tautkan dengan tulisan ini 

Label: English-version, Kebijakan, Kota, pemerintah
 
 
 

17 April 2007

Menyoal Konsep Dokter Keluarga di Indonesia

Albert Buntoro

    Masyarakat sudah seharusnya bisa menjadi dokter bagi dirinya sendiri dan orang lain.
 

LEPAS dari semua persoalan ceriteranya dan banyaknya kritik, kutipan di sebelah ini setidaknya adalah pesan singkat yang bisa ditangkap dari film berjudul ’Patch Adam’ (1999). Sebuah kisah nyata kehidupan dan perjuangan dokter idealis yang diperankan apik oleh Robin Williams. Seorang dokter yang kritis terhadap sistem rumah sakit yang mempersulit pasien dengan biaya mahal untuk sembuh dan mendobrak sikap kaku dalam mengobati pasien.

Patch muda mempunyai impian untuk menjadikan rumah sakit sebagai tempat yang menyenangkan bagi para pasien dan mereka bisa saling menolong serta menyembuhkan. Impiannya terwujud ketika dia bersama teman-temanya mendirikan Gesundheit Institute, sebuah rumah singgah bagi yang sakit di pinggiran Virginia Barat, Amerika Serikat. Selain memberikan pengobatan gratis, para dokternya juga memosisikan diri sebagai keluarga dan tak menjaga jarak dengan pasien-pasiennya.

    Karena percaya pada kuatnya kaitan antara lingkungan dan kesehatan, kebaikan, keutuhan dan kesejahteraan (wellness), saya percaya bahwa kesehatan seseorang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan keluarga, komunitas dan dunia. — dr. Patch Adam

Kehadiran Gesundheit Institute menjadi poros munculnya perombakan besar dalam dunia kedokteran di Amerika. Seorang dokter tak mengenakan pakaian kebesarannya dan tetap menjadi bagian dalam kehidupan pasien. Dia tak hanya duduk di belakang meja menunggu pasien, melainkan aktif menghubungi pasien dan keluarga guna menanyakan kesehatan. Dokter yang berperan aktif inilah yang kemudian dikenal dengan dokter keluarga. Sistem ini muncul karena ada kepercayaan dalam diri dr. Patch bahwa kesehatan individu tak bisa dipisahkan dari kesehatan keluarga, komunitas dan dunia.

Konsep dokter keluarga sudah lama diterapkan di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Dengan mengadopsi sistem yang sudah berjalan di negara maju, departemen kesehatan (depkes) menerapkan konsep dokter keluarga sebagai sebagai salah satu alternatif untuk mencapai Indonesia Sehat (IS) 2010. Sasaran jangka panjang sebagai upaya tercapainya IS 2010 adalah tersedianya satu dokter keluarga untuk 2.500 penduduk atau 500 kepala keluarga.

Targetnya setiap individu mempunyai seorang dokter keluarga yang nantinya sebagai partner dalam menjaga kesehatannya. Gagasan yang dibangun dan coba ditanamkan kepada masyarakat adalah paradigma sehat dengan konsep rumah sehat. Artinya tugas seorang dokter bukan saja menunggu dan memberikan pengobatan kepada pasien yang sakit. Sebaliknya dia melakukan tindakan preventif sebelum si pasien jatuh sakit, misalnya dengan rutin memonitor perkembangan kesehatan pasien. Dengan kata lain dia menjadi polisi sekaligus tempat curhat bagi si pasien. Dengan sistem dokter keluarga ini diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan dan perilaku hidup sehat, sehingga tingkat kesehatan masyarakat juga semakin meningkat.

Samsuridjal Djauzi, Staf Pengajar Universitas Indonesia, dalam blog pribadinya menceritakan pengalaman ketika menyaksikan layanan dokter keluarga secara gratis di daerah pemukiman (kampung dan rumah susun) di Kuba, Amerika Tengah. Menurutnya keberhasilan pelayanan dokter keluarga di sana karena didukung oleh ketersediaan air bersih dan listrik, kelengkapan fasilitas kesehatan, serta kebersihan lingkungan. Bahkan pusat-pusat kesehatan masyarakat di Kuba sudah dijadikan rujukan layanan klinik, karena sudah tersedia dokter spesialis, layanan gawat darurat dan rehabilitasi medis. Alhasil keberadaan dokter keluarga ini mampu meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat Kuba. Terbukti dari data yang disampaikan Samsuridjal tentang angka kematian bayi yang hanya 5,8/1000 (Indonesia masih 30/1000), dan angka kematian ibu 31/100.000 (Indonesia masih 300/100.000). Bahkan angka kematian bayi di Kuba lebih baik jika dibandingkan dengan negara yang sedang berkembang maupun negara-negara maju seperti Amerika Serikat.

    The true story of a Virginia medical student who breaks all the rules by daring to proclaim that the best medicine for patients is love, laughter and play. (Spirituality&Practice)
 

Sebagai suatu konsep, sistem dokter keluarga boleh dibilang ideal dalam menunjang peningkatan taraf kesehatan masyarakat. Namun dalam penerapannya — bagi Indonesia — dibutuhkan dukungan di berbagai bidang, misalnya dalam penyediaan layanan publik seperti fasilitas transportasi, air bersih, listrik dan alat-alat kesehatan. Dan untuk mencapainya dibutuhkan kerjasama lintas sektoral, termasuk sektor pendidikan guna membangun kesadaran masyarakan untuk hidup dan berperilaku sehat.

Pertanyaannya kemudian: apakah dokter keluarga di Indonesia juga akan menjangkau masyarakat menengah ke bawah seperti yang terjadi di Kuba, ataukah hanya sebagai konsumsi kalangan menengah atas di daerah perkotaan? Kita lihat saja nanti.**

Read More...

Summary only...

Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 4:24 PM 1 komentar Tautkan dengan tulisan ini 

Label: Civil society, Kebijakan, pemerintah

Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts (Atom)
 

                                        *             *             *

Source: http://ecosocrights.blogspot.com/search/label/pemerintah

01 April 2008

                                  *             *             *
 

 

mm
 

See the English version

further below!
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

mmm